Monday, June 8, 2015

MBS11. MUALLAF

Aku bermaksud membuka pintu ketika kudapati gerendelnya sudah tidak terpasang. Hari masih gelap, adzan Subuh baru berkumandang. Siapa yang barusan keluar rumah? Atau semalam lupa dikunci?

Tetapi samua pertanyaanku terjawab ketika kakiku melangkah sampai di teras. Pangon sedang menyapu halaman.

"Pagi sekali, Pangon?" Aku menyapanya.

"Ya Pak Haji. Sudah terbiasa begini."

"Ikut Shalat Subuh saja yuk," aku mengajaknya.

Anak kecil itu menggelengkan kepala. Aku bisa melihat sinar ingin tahu sekaligus semburat malu di tatapannya sehingga aku tidak memaksa.

"Kamu tidak pernah shalat ya?" Pertanyaanku kulempar dengan nada enteng agar tidak melukai hatinya. Anak itu menggelengkan kepala dengan polos.

"Nanti kuajari sepulang dari masjid," ujarku. Anak itu mengangguk.

Sepulang dari masjid aku benar-benar mengajarinya shalat dan dasar-dasar agama Islam.

"Memangnya kamu diajari agama apa sebelum ini?" Aku bertanya dalam suatu kesempatan.

Seperti biasa Pangon diam tidak menjawab. Sudah seminggu dia tinggal bersama para kuli di tokoku, tetapi sikapnya masih misterius. Dan aku tidak ingin memaksanya membuka diri.

Sunday, June 7, 2015

MBS10. ANAK JUJUR

Aku sudah bertahun-tahun membuka toko material. Dulu aku ingin seperti Fahmi atau Deni, menjadi pegawai negeri yang nyaman. Tetapi ada oknum yang memintaku membayar sejumlah uang sehingga aku tidak melanjutkan proses seleksi.

Berjualan material ini harus kuat mental. Pembeli sering minta tempo, tetapi ketika jatuh tempo sering tidak membayar. Padahal stok material harus selalu dibayar tepat waktu.

Tetapi pelan-pelan usaha materialku makin maju. Pelan-pelan pula pemasukanku bertambah.

Ketika Fahmi dan Deni menjadi pejabat, mereka tetap melihatku sebagai pedagang di toko berdebu bahkan berpasir karena itulah daganganku. Tetapi mereka tidak tahu berapa hektar tanah yang telah kumiliki sebagai tabungan. Mereka juga tidak tahu berapa kuli yang telah kubantu memperoleh nafkah untuk anak isterinya.

Pendek kata usahaku makin maju meski ada jatuh bangunnya. Aku bersyukur untuk semua itu.

Tetapi kemarin seorang anak kecil minta jadi kuli. Dia datang tanpa ijazah dan tidak tahu apa itu sekolah.

Di mata anak itu kulihat pancaran kejujuran dan semangat hidup. Aku sudah terbiasa menemui banyak karakter manusia. Dari tatapan dan gerak-geriknya saja aku sudah bisa membaca isi hatinya.

Aku tahu kedatangannya adalah rahmat, karena selama sekian tahun menikah... Aku belum juga dikaruniai putera.

Saturday, June 6, 2015

MBS9. INTERAKSI


Toko bangunan Berdikari (aku salah menyebutnya Toko Berdiri pada saat pertama aku datang) adalah toko yang ramai pengunjung. Konon dulunya Pak Haji hanya membuka toko material kecil, tetapi makin hari tokonya makin besar.

"Kulinya juga bertambah terus..." ujar salah satu tukang yang membeli material ke toko ini, "Kelihatannya Pak Haji punya ilmu pesugihan..."

Aku tidak setuju dengan ucapan tukang itu. Setelah beberapa hari bekerja, aku mengenal Pak Haji dengan baik. Dengan pengalaman di padepokan sejak kecil, aku tahu betul bahwa Pak Haji sama sekali kosong dari ilmu pesugihan, pengasihan dan sebagainya. Tetapi aura Pak Haji dan toko ini memang positif, sangat positif bahkan. Mungkin karena ketaataan dan kedermawanan Pak Haji dan keluarganya.

Tetapi ucapan nyinyir seperti tukang itu kudengar juga dari pembeli-pembeli lainnya. Bahkan dari kuli juga aku mendengarnya. Bahkan dari salah satu penerima derma Pak Haji sendiri.

Aku semula tidak mengerti bagaimana para kuli dan penerima derma bisa berlaku buruk kepada majikan/pemberi santunannya. Tetapi lama kelamaan aku melihat bahwa di luar padepokan, orang-orang memang tidak banyak yang hidup dengan rasa syukur dan berterima kasih.

Mereka tidak dididik untuk bersyukur pada Sang Pencipta dan tidak bisa berterima kasih kepada sesama.

Dalam padepokan, sikap tidak berterima kasih dianggap sebagai awal pembangkangan. Ada sebuah kelas bernama Kelas Budi, dikhususkan bagi anak-anak yang budi pekertinya bermasalah.

Thursday, June 4, 2015

MBS8. KERJA




Tidak seperti di padepokan, di Kalianda ini aku harus bekerja agar bisa membeli makan dan minum.

"Sebenarnya kamu adalah tamuku. Dalam Islam, tamu harus dilayani dan dipenuhi kebutuhannya sampai tiga hari berturut-turut," ujar bapak yang menampungku di rumahnya.

"Kalau begitu enak sekali jadi pemalas Pak? Tinggal bertamu saja ke masyarakat muslim dua tiga hari secara bergiliran," ujarku.

"Menolak tamu juga mudah. Cukup dengan tidak menjawab salamnya sampai tiga kali dan sang tamu harus tahu diri bahwa rumah yang dituju tidak menerimanya."

Tetapi aku memilih untuk bekerja. Dan tempat terdekat untuk bekerja adalah toko material bahan bangunan Haji Somad.

"Kamu tidak punya ijazah jadi jangan minta bayaran gede," pesan Haji Somad ketika menerimaku menjadi salah satu kuli.

"Ijazah apa Pak Haji?" aku bertanya heran.

"Ijazah sebagai tanda kamu sudah lulus SD, SMP atau SMA," jawab Pak Haji dengan nada lebih keheranan daripadaku.

"Apa kuli-kuli yang lain punya ijazah Pak Haji?"

Pak Haji tertawa tetapi tidak menjawab. "Anak Jawa aneh..." Gumamnya.

Sejak saat itu aku bekerja menjadi kuli di toko material Berdiri.

Tuesday, June 2, 2015

MBS7. SUMATERA

Kapal feri ini seharusnya nyaman. Sayang penumpangnya berjubel sehingga fasilitas-fasilitas eksekutifnya banyak yang menjadi korban vandalism.

Aku sedang menikmati pemandangan selat yang menyekat Pulau Jawa dan Sumatera, berdiri di pagar kapak ketika kurasa seseorang menepuk pundakku.

"Sudah sering naik kapal Dik?" Seorang berusia empat puluhan ternyata telah berdiri di sebelah kananku.

"Baru pernah," jawabku.

Pria itu menatapku sejenak. "Di Lampung mau ke mana?"

"Ke rumah teman di Kalianda."

Pria itu berkata bahwa dia juga tinggal di Kalianda sehingga ia menawarkan boncenfan setelah turun dari kapal. "Kalianda jaraknya nanggung Dik. Kalau naik angkutan umum lama sekali padahak jaraknya tidak begitu jauh dari Pelabuhan Bakauheni. Kalau naik travel harganya mahal, seharusnya lebih cepat tetapi mobil travel tidak akan berangkat sebelum penumpangnya penuh."

Kami kemudian mengobrol. Pria itu seorang pegawai pemda, keluarganya tinggal di Jakarta sehingga ia sering bolak-balik ke Lampung.

Ketika teman yang kutuju ternyata sudah pindah alamat dan alamat barunya tidak ada yang tahu, pria itu menawariku tinggal di rumahnya selama aku belum pulang ke Jakarta.

Untunglah pria itu tidak suka bertanya latar belakang sehingga aku tidak perlu repot menjawab tentang masa laluku di padepokan. Tragedi padepokan membuatku sedikit trauma untuk mempercayai orang lain.

Monday, June 1, 2015

MBS6. MR. STEVE




Aku ingin bercerita sedikit tentang Mr. Steve, guru wali yang dekat dengan kami para murid. 

Sebelum datang ke padepokan, dia adalah seorang profesor yang mengajar di kampus apa namanya di Singapura. Mungkin Nan Yang atau semacam itu nama kampusnya. Aku tidak begitu tahu apakah itu nama kampus atau nama kota di sana.

Dia datang ke padepokan ketika aku masih berumur sepuluh. Dipapah Guru Hendra, Mr. Steve ketika itu tampak terluka parah, konon katanya habis dikeroyok begal. Sedihnya, isterinya meninggal dengan sangat mengenaskan dalam pengeroyokan itu sehingga Mr. Steve depressi.

Guru kepala kemudian menangani Mr. Steve secara intensif sehingga akhirnya beliau bisa menerima kepergian isterinya. Selama beliau dirawat, orang-orang dari Singapura dan Australia bolak-balik datang ke padepokan.

Setelah pulih Mr. Steve memilih untuk tinggal di padepokan dan mengajar ilmu-ilmu exakta sambil menekuni silat. Karena silat beliau belum begitu tinggi, kami tidak memanggilnya Guru. Tetapi karena beliau sudah berumur dan juga mengajar di kelas pengetahuan umum, kami memanggilnya Mister.

Sebenarnya ada beberapa guru bule di padepokan kami, tetapi karena mereka mengajar silat maka kami memanggil mereka dengan sebutan Guru, misalnya Guru Heinrich dan Guru Fred.
Mr. Steve sangat dekat dengan anak-anak. Dia bilang sejak menikah tidak pernah punya anak sehingga dia menyayangi kami sebagai anak-anaknya.

Setelah tragedi terjadi di padepokan dan kami berpencaran k luar, au tidak pernah mendengar lagi kabar Mr. Steve.

Aku berdoa semoga dia tidak termasuk menjadi korban dalam peristiwa itu, sambil berharap suatu saat bisa bertemu kembali dengannya.

Mr. Steve adalah sosok ayah yang baik. Karena itu aku merindukannya sebagai seorang anak merindukan kasih sayang ayahnya.

=================


MBS: Menulis Blog Serial

Sunday, May 31, 2015

MBS5. FIRASAT



Aku sering merasa tidak enak. Seperti ada bayangan kabur, bukan bayangan orang melainkan bayangan kabut yang menyelimuti padepokan. Sehari dua aku mengabaikannya, tetapi akhirnya Mr. Steve bisa melihat perilakuku yang menjadi lebih pendiam.

"Ada apa Pangon?" Mr. Steve bertanya suatu hari, "Kamu tampak pendiam dan suka menyendiri. Tatapanmu juga sering menerawang atau malahan blank..."

Semula aku tidak menjawab, tetapi akhirnya kuceritakan bayangan kabut yang selama ini kulihat menyelimuti Padepokan.

Mr. Steve tersenyum mendengar uraianku, "Kamu punya intuisi yang tajam... itu bagus buatmu."

"Maksud Mister...?"

"Beberapa guru juga mendapat isyarat serupa. Tampaknya ada sesuatu yang akan terjadi pada padepokan kita."

Aku mencoba mengamati Mr. Steve, tetapi yang kudapati hanya wajah tenang yang tidak berubah dari kebiasaannya. Mr. Steve memang tidak pernah panik oleh berita sebesar apa pun.

"Apakah kita perlu menyelamatkan diri?" aku bertanya pelan.

Mr. Steve menganggukkan kepala, "Tepatnya mempersiapkan diri. Kalau tentang keselamatan, kita tidak tahu apakah di luar padepokan lebih aman daripada di dalam..."

Siangnya aku mendengar desas-desus tentang perselisihan salah satu guru dengan ustadz di luar padepokan. Guru itu mengobati seorang warga, tetapi cara pengobatannya dianggap sesat oleh ustadz di luar padepokan.

Aku menjadi gelisah karena setelah itu bayangan kabut tampak lebih tebal dan lebih sering datang. Aku merasa sesuatu yang besar benar-benar akan terjadi....

================

Gambar diambil dari http://gambarwallpaper.fondecranhd.net/berkabut-6/
MBS: Menulis Blog Serial